Senin, 09 Juli 2012

Perkembangan Moral, Intelektual dan Agama pada Remaja

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapam social tanpa terus dibimbing,diawasi didororng dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi. Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah "Perkembangan Moral dan Keagamaan Remaja" dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)      Bagaimana perkembangan moral remaja?
2)      Bagaimana perkembangan intelektual  remaja?
3)      Bagaimana pula perkembangan agama pada  remaja?

 BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Remaja
Sebelum membicarakan perkembangan moral dan agama, sekiranya lebih baik kita mengetahui apa yang dimaksud dengan remaja. Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).
Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa. Atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa. Anak-anak jelas kedudukannya, yaitu yang belum dapat hidup sendiri, belum matang dari segala segi, tubuh masih kecil, organ-organ belum dapat menjalankan fungsinnya secara sempurna, kecerdassan, emosi dan hubungan social belum selesai pertumbuhannya. Hidupnya masih bergantung pada orang dewasa, belum dapat diberi tanggung jawab atas segala hal. Dan mereka menerima kedudukan seperti itu.
Sedangkan masa remaja, ditandai dengan datangnya Haid (menstruasi) pertama bagi wanita, dan mimpi pada pria. Kejadian yang menentukan ini tidak sama antara satu anak dengan anak yang lainnya, ada yang dimulai pada umur 12 Tahun, tapi ada pula yang baru berumur 11 Tahun. Tapi secara rata-rata terjadi pada umur 13 tahun sebagai permulaan masa remaja (Adolesen) sedangkan akhir masa remaja itu bermacam-macam, ada yang mengatakan berumur 15 tahun, ada pula yang mengatakan berumur 18 tahun, bahkan dalam bidang kemantapan beragama umur itu oleh ahli jiwa di perpanjang lagi sampai 24 atau 25 tahun. Batas-batas umur yang bermacam-macam itu baik yang berumur 15, 18, 21, Amaupun 25 tahun adalah wajar dan cocok bagi masing-masing masyarakat, sesuai dengan nilai dan ukurannya sendiri. Walaupun bermacam-macam pendapat tentang umur yang di tentukan sebagai batas yang menentukan masa remaja, namun pada umumnya para ahli mengambil patokan antara 13-21 tahun adalah umur remaja.
B.       Perkembangan Moral pada Remaja
Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
1.      Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
2.      Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.

Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
  1. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
  2. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
  3. Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg  pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai  berikut:
a)      Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan  ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas
Tahap 2: Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.
b)      Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi  terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
c)      Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom/Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.
C.       Perkembangan Intelektual pada Remaja
1.      Pengertian Intelek
Istilah intelek berasal dari bahasa Inggris intellect yang menurut Chaplin (1981) diartikan sebagai :
a.       Proses kognitif, proses berpikir, daya menghubungkan, kemampuan
menilai, dan kemampuan mempertimbangkan;
b.      Kemampuan mental atau itelegensi.
Menurut Mahfudin Shalahudin (1989) dinyatakan bahwa “intelek” adalah akal budi atau inteligensi yang berarti kemampuan untuk meletakkan hubungan dari proses berfikir. Selanjutnya, dikatakan bahwa orang yang intelligent adalah orang yang dapat menyelesaikan persoalan dalam waktu yang lebih singkat, memahami masalahnya lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat
Menurut William Stern, salah seorang pelopor dalam penelitian inteligensi, menyatakan inteligensi adalah kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru. Sedangkan Leis Hedison Terman berpendapat bahwa inteligensi adalah kesanggupan untuk belajar secara abstrak. Di sini Terman membedakan antara concrete ability yaitu kemampuan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat konkret abstract ability, yaitu kemampuan yang bersifat abstrak. Orang dikatakan inteligen, menurut Terman, jika orang tersebut mampu berpikir abstrak dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian intelek tidak berbeda dengan pengertian inteligensi yang memiliki arti kemampuan untuk melakukan abstraksi,serta berpikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru.
2.      Karakteristik Perkembangan Intelektual Remaja
Piaget membangi empat tahapan perkembangan intelektual/ kognitif, yaitu (1) tahap sensori motoris, (2) tahap praoperasional, (3) tahap operasional konkret dan (4) tahap operasional formal. Setiap tahapan memiliki karakteristik tersendiri sebagai perwujudan kemampuan intelek individu sesuai dengan tahap perkembangannya.
Adapun karakteristik setiap tahapan perkembangan intelek tersebut adalah sebagai berikut :
a)      Karakteristik Tahap Sensori-Motoris
Tahap sensori-motoris ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
1)      Segala tindakannya masih bersifat naluriah
2)      Aktivitas pengalaman didasarkan terutama pada pengalaman indra
3)      Individu baru mampu melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum mampu untuk    mengategorikan pengalaman
4)       Individu mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-skema sensori-motorisnya.
Sebagai upaya lebih memperjelas karakteristik tahap sensori-motoris ini, Piaget  merinci lagi tahap sensori-motoris ke dalam enam fase dan setiap fase memiliki karakteristik tersendiri.
a.    Fase pertama (0-1 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a)      Individu mampu bereaksi secara refleks
b)      Individu mampu menggerak-gerakkan anggota badan meskipun belum terkoordinir
c)      Individu mampu mengasimilasi dan mengakomodasikan berbagai pesan yang diterima dari lingkungannya.
b.   Fase kedua (1-4 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mampu memperluas skema yang dimilikinya berdasarkan hereditas
c.    Fase ketiga (4-8 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mulai dapat memahami hubungan antara perlakuannya terhadap benda dengan akibat yang terjadi pada benda itu.
d.     Fase keempat (8-12 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a)      Individu mampu memahami bahwa benda tetap ada meskipun untuk sementara waktu hilang dan akan muncul lagi di waktu lain.
b)      Individu mulai mampu mencoba sesuatu
c)      Individu mampu menentukan tujuan kegiatan tanpa tergantung kepada orangtua
e.    Fase kelima (12-18 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a)      Individu mulai mampu untuk meniru
b)      ndividu mampu untuk melakukan berbagai percobaan terhadap lingkungannya secara lebih lancar
f.     Fase keenam (18-24 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a)      Individu mulai mampu untuk mengingat dan berpikir
b)      Individu mampu untuk berpikir dengan menggunakan simbol-simbol bahasa sederhana
c)      Individu mampu berpikir untuk memecahkan masalah sederhana sesuai dengan tingkat perkembangannya
d)     Individu mampu memahami diri sendiri sebagai individu yang sedang berkembang
b)      Karakteristik Tahap Praoperasional
Tahap praoperasional ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
1)      Individu telah mengkombinasikan dan mentrasformasikan berbagai informasi
2)      Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide
3)      Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa konkret, meskipun logika hubungan sebab akibat belum tepat
4)      Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku :
a)      berpikir imajinatif
b)      berbahasa egosentris
c)      memiliki aku yang tinggi
d)     menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi dan
e)      perkembangan bahasa mulai pesat.
c)      Karakteristik Tahap Operasional Konkret
Tahap operasional konkret ditandai dengan karakteristik menonjol bahwa segala sesuatu dipahami sebagaimana yang tampak saja atau sebagaimana kenyataan yang mereka alami. Jadi, cara berpikir individu belum menangkap yang abstrak meskipun cara berpikirnya sudah tampak sistematis dan logis. Dalam memahami konsep, individu sangat terikat kepada proses mengalami sendiri. Artinya, mudah memahami konsep kalau pengertian konsep itu dapat diamati atau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan konsep tersebut.
d)     Karakteristik Tahap Operasional Formal
Tahap operasional formal ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
a)      Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi
b)      Individu mulai mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak
c)      Individu mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotesis
d)     Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan (forecasting) di masa depan
e)      Individu mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga kesadaran diri sendiri tercapai
f)       Individu mulai mampu membayangkan peranan-peranan yang akan diperankan sebagai orang dewasa
g)      Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan kepentingan masyarakat di lingkungannya dan seseorang dalam masyarakat tersebut.

D.      Perkembangan Agama pada Remaja
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan biasanya memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanekaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1.      Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
a.       Sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b.      Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
c.       Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2.      Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
    1. Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
    2. Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
    3. Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
    4. Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual.
Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
 BAB III
PENUTUP

 KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas penulis memahami  Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik dan Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral seperti:
1.      Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
2.      Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Menurut Mahfudin Shalahudin (1989) dinyatakan bahwa “intelek” adalah akal budi atau inteligensi yang berarti kemampuan untuk meletakkan hubungan dari proses berfikir. Selanjutnya, dikatakan bahwa orang yang intelligent adalah orang yang dapat menyelesaikan persoalan dalam waktu yang lebih singkat, memahami masalahnya lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.

DAFTAR PUSTAKA
 Santrock, John W. 2003. Adolescence 6th Edition. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Administrator. (2010). Makalah Perkembangan Moral dan Keagamaan Remaja. [Online]. Tersedia: http://www.kosmaext2010.com/makalah-perkembangan-moral-dan-keagamaan-remaja.php. [3 Maret 2011].
Darajat, Zakiah. (1976). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Desmita. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosda Karya.
Yusuf, Syamsu. (2007). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda Karya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar